Dulu ketika aku masih kelas 1 SMP, cc ku saat itu kelas 3 SMA. Waktu itu cc sedang berbincang-bincang dengan Papa tentang keinginannya untuk apply beasiswa ke luar negeri. Aku lupa apakah itu ke Jepang atau ke Singapura. Saat itu, Papa tidak begitu setuju dan terkesan tidak mendukung, karena beasiswa yang ditawarkan adalah beasiswa dengan syarat prestasi. Yang artinya, setelah kita mendapat beasiswa tersebut, ada persyaratan nilai dan evaluasi per semester apakah beasiswa akan dilanjutkan atau tidak.
Saat itu aku tidak mengerti. Kenapa Papa tidak setuju? Kan kalo beasiswa, tidak menggunakan duit Papa, jadi kenapa Papa khawatir?
Kudengar Papa menjelaskan, "Hidup di luar negeri kamu belum tahu seperti apa, apakah kamu betah atau tidak. Saat ini prestasi mu bagus, tapi ketika harus adaptasi sana sini, mungkin akan berpengaruh pada prestasi. Tekanan juga akan sangat besar, karena kamu harus jaga prestasi supaya beasiswa nya tetap berlanjut. Jika prestasi mu turun dan tiba-tiba beasiswamu putus, Papa tidak akan punya uang untuk mensupportmu untuk lanjut kuliah. Lebih baik kuliah dalam negeri saja."
Aku saat itu mengerti secara harafiah, tapi tidak bisa dibilang paham benar.
Saat aku kuliah, aku tidak bergantung pada beasiswa, cc ku sudah menyiapkan anggaran untukku. Jadi mau prestasi se anjlok apapun, aku tetap bisa kuliah. Aku sangat beruntung, tidak punya kekhawatiran finansial, sehingga bisa fokus kuliah. Meskipun duit pas-pas an banget, tapi aku tau aku tetap bisa kuliah, asal berhemat. Terima kasih cc yang telah berjuang keras agar aku bisa menikmati kuliah tanpa rasa khawatir.
Tahun ke 3 kuliah, aku mengenal satu teman yang masuk kuliah dengan syarat prestasi. Anak ini sangat pintar, tapi karena baru pindah dari SMA ke lingkungan kuliah, kita tidak bisa menebak, seberapa sih usaha yang diperlukan untuk dapat IP 3.5? Jadinya, hidup dalam ketidaktahuan dan kekhawatiran. Takut gagal mencapai IP tersebut dan terpaksa dihentikan beasiswanya. Anak ini juga tidak punya back up finansial, jadi 100% andalin beasiswa. Hari-harinya tidak bahagia. Saking stress nya dia, dia sempat ada masa asal minum obat, padahal dia tidak sakit. Aku berusaha menemani dia. Aku sangat yakin IP 3.5 bukan masalah bagi dia, tapi kalo anxious begini, dia tidak akan bisa perform dengan baik.
Momen itu, aku baru benar-benar ngeh, kenapa Papa ku dulu tidak mendukung cc ku untuk ke luar negri mengandalkan beasiswa. Papa tidak ingin melihat anaknya stress untuk hal yang tak perlu. Mungkin Papa juga tidak akan tega jika meliat anaknya melewati hari penuh anxiety.
Papa tidak terlalu terobsesi dengan kampus yang OK, tapi Papa lebih memilih melihat anaknya bahagia.. Ah, Papa sungguh bijaksana.
Hari ini aku mengalami kejadian dimana muridku sangat tertekan dan khawatir ketika hendak ujian. Dia adalah penerima beasiswa dan mensyaratkan prestasi. Mungkin dia kalo tanpa kekhawatirannya, dia akan bisa mengerjakan soal dengan baik, tapi karena tuntutan itu di alam bawah sadar, dia setiap hari terlihat tidak bahagia. Dia bahkan saking paniknya, tak sanggup datang ke ruang ujian.
Aku cuma berharap dia baik-baik saja. Sesungguhnya, prestasi akademik bukan syarat mutlak untuk bertahan hidup. Banyak sekali orang-orang di luar sana, yang tidak pernah mengenyam pendidikan tinggi, tapi bisa hidup dengan bahagia.
Mamaku selalu berpesan: kamu hanya perlu berusaha yang sebaik kamu bisa di sekolah, kalo memang tidak mampu sekolah, kamu masih bisa pulang ke rumah, bantu mama jualan kue dari rumah ke rumah. Kalo kamu terlalu memaksakan diri dan kemudian depresi ato bahkan gila, tak hanya kamu ga bisa kerjain apapun, Mama juga harus jagain kamu.
Ketika aku ketakutan tak bisa menyelesaikan program Master ku, Mamaku hanya berkata, pulanglah, Mama tidak perlu gelar Master mu, Mama hanya perlu kamu bahagia.
Mendengar kalimat seperti itu benar-benar seperti menemukan sumber air di padang pasir. Semua beban terlepas begitu saja.
Dan ketika aku khawatir tak bisa menemukan kerja, Mama ku berkata: asal kamu tidak melekat pada gelarmu, Mama yakin kamu pasti akan dapat kerjaan yang bisa menghidupi mu.
Ah, Mamaku sungguh bijaksana.
Aku termasuk orang yang sangat beruntung, lahir di keluarga yang sangat supportif tapi juga sangat memberikan kebebasan.
Terima kasih Papa Mama. Terima kasih untuk saudara-saudaraku dan terima kasih alam semesta.
Deep bow in gratitude..